Tari Tayub Asal Suku Samin
Suku Samin menjunjung Tinggi Adat Istiadat, disini saya akan membahas bagaimana ciri dari tari tayub itu sendiri.
Ajakan
joget dari sang wanita penari Tayub ini disimbolkan dengan peletakan
selendang pada leher penonton laki-laki. Para lelaki yang telah diikat
dengan seledang pada lehernya tidak dapat menolak ajakan si penari. Atas
jasanya, kemudian para penari tayub akan
mendapatkan uang/sawer.
Semakin banyak sawer yang diberikan, maka si penari Tayub semakin lama
berjogetnya. Mereka terus menari dengan diiringi satu unit musik gamelan
Jawa berupa ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang dan
angklung. Selain itu, para penari Tayub biasanya juga mendendangkan
lagu-lagu ataupun syair-syair Jawa seperti gurindam yang berisi
nasehat-nasehat bijak, seperi nasehat untuk membina rumah tangga dengan
baik.
Tarian Tayub atau tayuban adalah kesenian tradisional khas
suku Jawa-Indonesia, Kesenian ini sangat populer di kalangan masyarakat
Jawa karena tampilannya yang atraktif, dinamis, estetis dan ekspresif.
Dengan menggunakan pakaian khas orang Jawa tempo dulu, seperti
penggunaan Jarit (kain panjang untuk pakaian bawahan) serta selendang
yang terikat dileher, para perempuan penari tayub menari dengan begitu
lemah gemulai untuk menghibur dan mengajak berjoget para penonton.
Dalam
konteks ini, menurut interpretasi penulis, kesenian dapat digolongkan
menjadi dua bentuk. Pertama, kesenian yang memiliki pola. Dalam kategori
ini, kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi lebih terpola dan
terstruktur dibandingkan dengan kesenian kaum alit. Kedua, kesenian yang
tidak berpola. Dalam konteks ini, kesenian rakyat-lah yang dianggap
tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini tercermin dari bahasa dan simbol
yang digunakan kaum alit yang jauh dari budaya keraton yang ketat.
Terlepas dari apakah kesenian Tayub juga merupakan wujud nyata adanya
legitimasi dari kaum bangsawan, Tayub tetap-lah sebuah kesenian yang
estetis yang layak diklaim sebagai kesenian dalam konteks Jawa. Sebab
realitanya kesenian ini memang telah menjadi primadona di kalangan
rakyat Jawa.
Sungguhpun demikian, yang patut disayangkan adalah
munculnya stereotipe negatif dari sebagian besar masyarakat Indonesia
yang selalu dilekatkan pada genre kesenian ini, Tayub. Kesenian yang
menjadikan unsur perempuan sebagai unsur dominan memang masih dianggap
sebagai sebuah cacat bagi struktur sosial masyarakat Indonesia yang
budaya patriark-nya sangat kuat. Dalam konteks inilah, perempuan dalam
masyarakat patriark selalu diletakkan pada tempat yang inferior,
sementara para lelakinya di tempat yang lebih superior.
Stereotipe
negatif inilah yang menjadikan kesenian Tayub semakin termarjinalkan
dalam kehidupan masyarakat Jawa dewasa ini. Kalaupun tidak, esensi dari
seni Tayub telah luntur, hilang diterpa arus zaman. Dengan kata lain,
kesenian yang pada awalnya berfungsi sebagai sebuah hiburan yang
bernuansa seni estetis dengan nilai-nilai budaya adiluhung ini telah
beralih fungsi menjadi kesenian erotis yang hanya berfungsi sebagai
pemuas nafsu belaka. Dengan menonjolkan sisi-sisi tertentu, misalnya
sisi sensitif pada wanita, seperti “maaf” bagian dada pada wanita yang
agak terbuka. Maka, kita-pun sering melihat tarian ini tak lagi
menampilkan esensinya. Syair-syair yang pada awalnya berisi nasehat
bijak berubah menjadi lagu-lagu yang berkonotasi negatif.
Padahal,
dalam kajian etimologi, Tayub bermakna “ditata ben guyub” , diatur agar
tercipta kerukunan. Makna ini merupakan esensi kesenian Tayub yang
harus ditampilkan. Namun, citra buruk ataupun stereotipe negatif yang
telah dilekatkan pada Tayub seakan mendarah daging dalam sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Tayub bagi masyarakat luas, hanya dipandang dari
sisi negatifnya, menjadi sebuah kesenian mesum, berkualitas rendah dan
bertendensi erotis. Realitas inilah yang semakin menyudutkan kesenian
Tayub, sehingga cap berkesenian dalam wujud para pelaku seni Tayub,
yakni penari Tayub (ledhek) dan penabuh gamelan merupakan berkesenian
yang tidak berseni.
Pada umumnya, banyak sekali kesenian Jawa
yang bernuansa mistis, salah satunya adalah Tayub. Konon, para wanita
penari Tayub menggunakan medium ataupun cara-cara mistis, seperti
penggunaan susuk sebagai alat daya pikat dalam menarik para audiens atau
penonton. Terlebih, para audiens-nya adalah kaum lak-laki. Entah benar
atau tidak, toh kenyataannya, dalam kesenian Tayub memang menyimpan
dimensi mistis. Dimensi mistis ini terletak pada unit gamelan Jawa yang
digunakan sebagai musik pengiring tarian Tayub. Dalam masyarakat Jawa,
pembuatan dan perawatan unit gamelan selalu menjadi ritual yang
disakralkan. Misalnya, dimensi mistis ini telah terwakili oleh tradisi
Sekaten di keraton Yogyakarta. Dalam upara Sekaten, dua perangkat
gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) menjadi
simbol dilaksanakannya upacara sakral itu.
Dimensi mistis pada
kesenian Tayub, pada akhirnya menghantarkan kita pada sebuah pemahaman
bahwa kesenian ini lebih tepat dikatakan sebagai kesenian rakyat
daripada kesenian keraton. Simbol magis dan mistis yang ada dalam
kesenian ini merupakan ciri khas dari kultur kaum abangan, yakni
masyarakat pinggiran yang kultur religiusitasnya tidaklah kuat.
Pengertian yang demikian, secara implisit berarti bahwa kesenian ini
memang tidak dapat diterima dan berkembang dalam masyarakat luas.
Artinya, kesenian ini hanya dapat tumbuh dalam lokus yang terbatas.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kesenian ini tidak layak
disebut sebagai sebuah entitas kesenian. Sebab, bagaimanapun, menurut
Kuntowijoyo, yang dinamakan kesenian adalah karya ataupun tradisi yang
lahir dari suatu kelompok tertentu.
Sementara itu, Ignas Kleden
mendefinisikan kesenian sebagai sebuah karya seni yang mengandung unsur
hiburan serta sarat akan nilai dan norma pada masyarakat. Jadi, apabila
merujuk pada pemikiran Ignas, asalkan kesenian ini tetap mempertahankan
esensinya yang lekat dengan nilai dan norma orang Jawa, tentunya Tayub
menjadi sangat layak diklaim sebagai sebuah kesenian.
www.gunadarma.ac.id
www.studentsite.gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar