Senin, 30 Juni 2014

Suku Samin Di Blora

Untuk memenuhi tugas Ilmu Budaya Dasar mengenai suku-suku di Indonesia, saya akan menuliskan tentang kebudayaan Suku Samin yang sudah sedikit saya ketahui, heran kan kenapa saya bisa tau? Flashback dikit ya gauys, waktu studytrip jaman SMA, sekolah saya mengadakan kunjungan ke daerah Blora, tepatnya untuk memahami dan mendalami kebudayaan dan kegiatan suku samin. Yuk check it out. Selamat Membaca, semoga bermanfaat ^,^


SUKU SAMIN
Kata Pengantar
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859 di Desa Ploso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.  Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal Samin Sepuh. Nama ini kemudian dirubah menjadi samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Pada tahun 1890, Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik akan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Nama samin sendiri memiliki arti “thiyang sami-sami amin” yang artinya sekelompok orang yang senasib dan sepenanggungan. Orang-orang samin tidak suka dipanggil dengan sebutan “wong samin” karena sebutan tersebut mengandung arti tidak baik yaitu sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak kepada Belanda. Masyarakat samin (sedulur sikep) lebih suka disebut “wong sikep”

Isi Ajaran samin ada tiga, yaitu : Angger-angger Pengucap (hukum bicara), Angger-angger Pratikel (hukum tindak tanduk), dan Angger-angger Lakonono (hukum yang dijalankan).
Konsep ajaran samin adalah : Tidak sekolah, tidak memakai peci tapi memakai ikat kepala dan memakai celana sebatas lutut (untuk laki-laki), memakai kebaya dan kain (untuk perempuan), tidak berpoligami, tidak berdagang, dan yang sangan khas dari suku samin adalah memakai pakaian berwarna hitam yang melambangankan kesederhanaan.
Suku samin tidak menganut agama resmi,  namun menganut kepercayaan, yaitu “ajaran anak adam”. Ajarannya mencuat nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan dan kerja keras. Masyarakat samin memiliki kitab suci yang bernama “serat jamus kalimasada” yang terdiri atas beberapa buku,  yaitu serat punjer kawitan, serat pikukuh kasajaten, serat uri-uri pambudi, serat jati sawit, dan serat lampahing urip.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa ngoko kasar dan sering disertai dengan perumpamaan. Bagi masyarakat samin, menghargai orang lain bukanlah dari bahasa, tetapi melalui perbuatan yang ditunjukkan.
Masyarakat samin memiliki persamaan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutan kepada keluarga yang berhubungan darah. Hanya saja, masyarakat samin tidak terlalu mengenal leluhurnya atau generasi keatas. Menurut masyarakat samin, perkawinan sangatlah penting. Dalam ajarannya perkawinan adalah cara untuk meraih kebahagiaan, keluhuran budi dan menciptakan anak yang mulia. Meskipun masa penjajahan sudah berakhir, namun masyarakat samin masih tidak percaya terhadap pemerintahan indonesia. Maka dari itu, masyarakat samin tidak mencatat nama pasangan yang menikah di KUA. Karena bagi mereka dinikahkan dengan kedua orangtua saja sudah sah.
Upacara tradisi yang ada pada masyarakat samin yaitu, nyadran atau bersih desa sekaligus menguras sumber air pada sumur tua yang banyak memberi manfaat untuk masyarakat. Slamatan, yang berkaitan dengan rasa syukur untuk kehamilan, khitan, perkawinan, kematian, dan kelahiran.
Kesenian dalam masyarakat samin antara lain adalah tari tayup dan wayang tengul. Tari tayup merupakan tarian yang popuer bagi masyarakat Bojonegoro dan sekitar. Tarian ini biasanya dilakukan oleh pria dengan diiringi gamelan dan suara tumbukan padi yang dilakukan oleh para ibu-ibu masyarakat samin. Biasanya dilakukan sebagai wujud penerimaan tamu.
Sedulur sikep sangat ramah dan sederhana. Terlihat dari cara berpakaian dan memperlakukan orang lain. Masyarakat samin akan berdiri berjejer sepanjang jalan dari depan desa menuju pendopo tempat menjamu para tamu, dan masyarakat samin akan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan para tamu sebagai rasa hormat.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat samin adalah bertani, berkebun dan ada juga yang berternak. Mereka sangat memanfaatkan alam yang mereka miliki. Mengambil segala sesuatu dari alam dengan secukupnya dan sesuai kebutahan. Tanah bagi mereka bagaikan ibu sendiri yang artinya pemberi kehidupan, maka tanah di perlakukan dengan sebaik-baiknya.
Meskipun dalam ajaran masyarakat samin salah satunya adalah tidak bersekolah, tetapi mereka memiliki pengetahuan dasar seperti pada umumnya masyarakat biasa. Anak-anak kecil sudah bisa berhitung dan bisa berhitung menggunakan bahasa inggris. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat samin sangat sensitif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Pemukiman masyarakat samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah fungsinya agar memudahkan dalam berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari  bilik bambu, kayu jati dan juga bambu dan berbentuk rumah limasan atau joglo. Jarang ditemui rumah berdinding batu bata dan berlantaikan keramik kecuali pendopo tempat penerimaan tamu.
Meskipun masyarakat samin terkesan menutup diri terhadap perkembangan dunia, namun masyarakat samin tidak ketinggalan pengetahuan dan teknologi. Seperti halnya sudah memakai lampu walaupun masih menggunakan energi listrik tenaga air, traktor untuk bertani, dan alat rumah tangga yang terbuat dari plastik dan alumunium.


Referensi
Wikipedia

www.gunadarma.ac.id
www.studentsite.gunadarma.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar