Rabu, 16 November 2016

Sikap Toleransi

            Secara spiritual, tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk menyembah Tuhan serta melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Pada dasarnya, di dalam semua agama diperintahkan untuk menebar kebaikan dan kedamaian di muka bumi, maka dari itu kita sebagai manusia harus mengamalkannya. Salah satu cara menjaga kedamaian antar sesama adalah dengan memiliki sikap toleransi. Toleransi adalah sikap menghargai orang lain secara sosial, budaya dan agama. Dengan melakukan sikap toleransi maka kita sudah menghargai hak asasi manusia seseorang dan pastinya akan mendapatkan manfaat positif, seperti kehidupan yang harmonis di dalam bermasyarakat. Contoh toleransi adalah dengan menghargai pendapat serta tindakan orang lain dan agama yang dianut oleh orang lain. Di dalam Undang-Undangan Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, sudah tertera mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal 28, dari point A sampai dengan J. Pada pasal 28 E berisikan tentang kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, meyakini kepercayaannya serta kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Pada pasal 28 J berisikan tentang setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain serta setiap orang wajib tunduk kepada undang-undang yang telah ditetapkan. Maka dari itu, sebagai manusia yang berakal dan bijaksana, kita haruslah bertoleransi dalam segala aspek kehidupan.
            Ketika saya duduk dibangku SMA, saya aktif berorganisasi dalam kegiatan non-akademik di sekolah. Organisasi atau ekstrakulikuler yang saya tekuni adalah Paskibra dan ketika kelas 11 menjadi anggota MPK sekolah dikarenakan menjadi ketua kelas saat itu. Menjadi seorang anggota Paskibra selain ditempa secara fisik dan mental, juga ditempa secara intelektual serta karakter. Dari ekskul Paskibra saya mengerti arti kekeluargaan, solidaritas dan toleransi. Banyak hal yang saya dapatkan dari kegiatan non-akademik, contoh pertama adalah saya selalu dijadikan sebagai salah satu kandidat dari ekskul Paskibra dalam setiap acara pemilihan jabatan di organisasi OSIS untuk menjawab setiap pertanyaan dari berbagai anggota organisasi lain di dalam suatu forum tertutup. Di forum tersebut, saya mengamalkan nilai-nilai toleransi yang telah saya dapatkan dari senior-senior kepada saya dengan mempersilahkan setiap kandidat mengemukakan pendapatnya dalam menjawab setiap pertanyaan dengan mendengarkan secara seksama serta tidak menjatuhkan kandidat lain.
            Suatu ketika, seorang senior saya yang menjabat sebagai ketua paskibra saat saya masih menjadi junior, beliau pernah memberikan wejangan yang sangat berarti bagi saya, dengan penuh kebijaksaan dia mengatakan :
            "Kalian 1 pasukan. 1 salah, semuanya salah. 1 jelek, semuanya jelek. 1 bagus, tidak bikin semuanya jadi bagus. Jangan egois".
            Sesungguhnya, saya sangat mengagumi sosok senior saya tersebut. Beliau sosok yang bijaksana dan sangat bertoleransi. Wejangan tersebut sangat melekat di otak saya sampai saat ini. Ketika saya menjadi senior, saya mengucapkan kalimat tersebut kepada junior-junior saya. Menurut saya wejangan tersebut bagaikan virus yang harus ditularkan ke generasi berikutnya di eksul paskibra agar nilai-nilai kebaikan tetap utuh tidak terhapus oleh perkembangan zaman. Saat saya menjadi senior dan saya memegang jabatan penting dalam organisasi, saya tetap mengamalkan nilai-nilai toleransi terhadap teman seangkatan dan kepada junior-junior saya. Setiap adanya permasalahan ataupun suatu rencana, saya selalu mengadakan rapat dan menanyakan kepada setiap anggota bagaimana pendapat mereka dan langkah apa yang harus dicapai untuk menyelesaikannya. Serta saling menghargai dengan keputusan yang telah dibuat. Dengan bermusyawarah, segala hal akan menjadi lebih mudah dilaksanakan dan dilalui. Dengan mendengarkan pendapat orang lain pula, maka orang tersebut akan merasa lebih dihargai.
            Contoh kedua yang saya dapatkan dari aktif berorganisasi adalah memiliki keluarga kedua yaitu teman-teman seperjuangan yang melalui susah dan senang bersama. Berasal dari beberapa kelas yang berbeda, beberapa karakter serta beberapa kepercayaan yang berbeda. Namun dari perbedaan tersebut yang membuat kami menjadi memiliki satu rasa dan satu jiwa. Saya menanamkan rasa pengertian sesama anggota, karena bagi saya ketika salah satu anggota sakit maka semuanya akan merasa sakit. Jika dianalogikan dengan tubuh manusia, ketika kepala terasa pusing maka seluruh tubuh akan berkurang daya gunanya. Sesungguhnya, saya belajar menjadi seorang pemimpin dengan bercermin kepada senior saya tersebut. Saya sangat mengagumi dan menghormati beliau karena sikapnya yang bijaksana dan sangat bertoleransi, terutama dalam hal beragama. Agama beliau adalah protestan, sedangkan agama angkatan kami saat itu mayoritas islam. Ketika kami latihan dibulan Ramadhan, beliau ikut berpuasa bahkan ikut berbuka puasa bersama kami. Ketika ditengah latihan dan suara adzan berkumandang, beliau memberikan instruksi parade yang artinya yang berada di dalam barisan untuk bersikap istirahat ditempat dan diam tanpa melakukan apapun selain berkedip dan bernafas. Beliau pula yang selalu mengingatkan kami yang muslim untuk selalu sholat tepat waktu. Sikap yang beliau contohkan kepada kami, saya jadikan sebagai pacuan untuk bisa menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana pula seperti beliau.   Pada saat istirahat disela-sela latihan, kami sering sharing mengenai ajaran-ajaran di agama masing-masing, dan kami pun jadi memiliki wawasaan baru mengenai ajaran agama-agama lain dengan tidak menjelekkan atau bahkan mendoktrin bahwa agama lain adalah salah. Selain itu, ketika kami harus melaksanakan latihan ekstra yang biasanya dilakukan pada hari libur, yaitu hari minggu maka kami pun harus mengerti anggota non-muslim yang harus beribadah ke gereja. Jika mereka beribadah pagi, maka kita akan melaksanakan latihan siang sampai sore hari, namun jika mereka beribadah sore hari maka kami akan melaksanakan latihan dari pagi sampai siang hari. Jika diharuskan latihan full-time dari pagi hingga sore, maka kami yang beragama muslim akan mempersilahkan anggota yang non-muslim untuk meninggalkan latihan sementara waktu untuk dapat beribadah ke gereja. Sebelum memulai ataupun mengakhiri latihan, kami selalu berdoa di dalam pasukan dengan instruksi berdoa menurut kepecayaan dan gaya masing-masing. Yang dimaksud gaya masing-masing adalah cara kami berdoa apakah dengan menengadahkan tangan ataupun menangkupkan tangan, ataupun dengan hanya menundukkan kepala serta memejamkan mata. Hal tersebut tidak dipermasalahkan asalkan dilakukan secara benar, khusyuk dan tidak mengganggu anggota lain.
            Kesimpulannya adalah dengan adanya sikap toleransi antar sesama maka akan menciptakan keseimbangan serta keharmonisan dalam bersosialisasi. Perbedaan yang membuat kehidupan menjadi lebih berwarna. Angkatan kami saling menyayangi, mempercayai dan memiliki solidaritas yang tinggi. Bagi saya, sebuah perubahan dan keharmonisan harus dilakukan dari dalam diri masing-masing. Jangan pernah mengharapkan untuk dihargai jika diri kita tidak bisa menghargai orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar